Jumat, 18 Mei 2018

Makalah BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)


KATA PENGANTAR

Makalah ini berisi tentang ringkasam pengertian, filosofi, perhitungan,objek, subjek serta hal-hal yang menyangkut Bea Perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam makalah ini dijelaskan cara menghitung berdasarkan undang-undang yang ada di Indonesia berkenaan dengan pajak atas wajib pajak. Diharapkan dengan adanya makalah ini mempermudah mahasiswa untuk memahami materi mengenai BPHTB.



















DAFTAR ISI
i.        PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM BPHTB ..................................................
ii.        FILOSOFI BPHTB .............................................................................................
iii.        SUBJEK, WAJIB PAJAK, OBJEK BPHTB ........................................................
iv.        OBJEK TIDAK DIKENAKAN BPHTB ................................................................
v.        JENIS HAK ATAS TANAH ................................................................................
vi.        TARIF DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG BPHTB ................
vii.        SYARAT MENGURUS BPHTB..........................................................................
viii.        SAAT TERUTANG BPHTB................................................................................
ix.        PENGERTIAN BPHTB WARIS............................................................................
x.        Penghitungan BPHTB Pewaris Pemilik Tunggal
Hak Tanah dan Bangunan ..................................................... 
xi.        SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG SERTA
TATA CARA PEMBAYARAN .............................................................................
xii.        TATA CARA PENETAPAN DAN PENAGIHAN ..............................................
xiii.        KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN .........................................
xiv.        TATA CARA PERMOHONAN PENGURANGAN ...........................................
xv.        KEPUTUSAN PENGURANGAN .......................................................................
xvi.        RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA SERTA PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB ..............................................................................................................
xvii.        KEWAJIBAN, PELAPORAN DAN SANKSI ......................................................
xviii.        Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Tarif Baru PPh Final 2.5% atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan ......................................................
xix.        Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ...................................
xx.        Rumus Cara Menghitung BPHTB Tanah / Rumah ....................................................




A.  Pengertian dan Dasar Hukum BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)
BPHTB muncul saat kita memperoleh rumah. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP).
BPHTB adalah pajak yang ditarik saat membeli rumah. Pajak iniapat ditanggung oleh pembeli atau penjualnya, tergantung negosiasi
Besaran BPHTB 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Jika NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, NJOP itulah yang dijadikan dasar penghitungan BPHTB.
Dalam BPHTB, ada yang namanya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besaran NPOPTKP berbeda-beda di setiap wilayah. Di Jakarta, misalnya, NPOPTKP ditetapkan pemerintah sebesar Rp 60 juta.
Adapun, mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan. Peraturan terkait lainnya antara lain:
  1. Peraturan Pemerintah Nomor 111 s.d. 114 tahun 2000,
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006,
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah dengan PMK Nomor 14/PMK.03/2009.
Setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan, warga negara diwajibkan membayar BPHTB. Dalam bahasa sehari-hari BPHTB juga dikenal sebagai bea pembeli, jika perolehan berdasarkan proses jual beli. Tetapi dalam UU BPHTB, BPHTB dikenakan tidak hanya dalam perolehan berupa jual beli. Semua jenis perolehan hak tanah dan bangunan dikenakan BPHTB.

Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Adapun, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi:
  1. Jual beli;
  2. Tukar-menukar;
  3. Hibah;
  4. Hibah wasit;
  5. Waris;
  6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
  7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
  8. Penunjukan pembeli dalam lelang;
  9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
  10. Penggabungan usaha;
  11. Peleburan Usaha;
  12. Pemekaran Usaha; dan
  13. Hadiah.
Namun dari Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah:
  1. Jual beli;
  2. Tukar-menukar;
  3. Hibah (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari pemberi hibah, namun pemberi hibah masih hidup);
  4. Hibah wasit (Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada penerima hibah namun belaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia); dan
  5. Waris.
B.  Filosofi BPHTB
Filosofi utama yang melandasi pajak ialah peran serta masyarakat dalam pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat melalui peningkatan penerimaan Negara dengan cara pengenaan pajak. Mengapa BPHTB dinamai Bea, bukan Pajak ?
Tidak banyak yang tahu mengapa BPHTB dinamai dengan bea dan bukan pajak. Ternyata ada beberapa ciri khusus yang membuatnya dinamai bea.
  • Ciri pertama, saat pembayaran pajak terjadi lebih dahulu daripada saat terutang. Contohnya, pembeli tanah bersertifikat sudah diharuskan membayar BPHTB sebelum terjadi transaksi (sebelum akta dibuat dan ditandatangani). Hal ini terjadi juga dalam Bea Meterai. Siapapun pihak yang membeli meterai tempel berarti ia sudah membayar Bea Meterai, walaupun belum terjadi saat terutang pajak.
  • Ciri kedua, adalah frekuensi pembayaran bea terutang dapat dilakukan secara insidentil ataupun berkali-kali dan tidak terikat dengan waktu. Misalnya membeli (membayar) meterai tempel dapat dilakukan kapan saja, demikian pula membayar BPHTB terutang. Hal ini tentunya berbeda dengan pajak, yang harus dibayar sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan dikenakan terhadap orang atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan atas suatu hak atas tanah dan atau bangunan ini bisa diartikan bahwa orang atau badan tersebut mempunya nilai lebih atas tambahan atau perolehan hak tersebut. Dimana tidak semua orang mempunyai kemampuan lebih untuk mendapatkan tanah dan atau bangunan.
C.  Subjek BPHTB
Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan dengan kata lain adalah pihak yang menerima pengalihan hak baik itu badan mapupun orang pribadi. Subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
D.    WAJIB PAJAK BPHTB
Subjek pajak BPHTB sesuai dengan ketentuan tersebut diatas menjadi wajib pajak BPHTB apabila dikenakan kewajiban membayar pajak.
E.  Objek BPHTB
Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru Perolehan hak tersebut meliputi;
a.    Pemindahan hak
HAK dapat berpindah apabila adanya :
  1. Jual beli,
  2. Tukar menukar,
  3. Hibah yaitu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu,
  4. Hibah wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setalah pemberi hibah meninggal dunia,
  5. Waris yaitu pengalihan hak yang dilakukan terhadap tanah dan atau bangunan dalam garis keturunan lurus,
  6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau kepada badan hukum lainnya,
  7. Pemisahan yang menyebabkan peralihan, yaitu pemindahan sebagian hak bersama  atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama,
  8. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yaitu peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut,
  9. Penunjukkan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh pejabat lelang sebagaimana yang tercantum dalam risalah lelang,
  10. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan  berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung,
  11. Peleburan usaha, yaitu penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut,
  12. Pemekaran usaha, yaitu pemisahan suatu usaha menjadi dua usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa likuidasi badan usaha yang lama,
  13. Hadiah, yaitu suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
b. Pemberian hak baru.
  1. Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak,
  2. Diluar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undang yang berlaku.

F.   Objek yang Tidak Dikenakan BPHTB
Yang bukan merupakan objek yang dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :
  1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
  2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum,
  3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan,
  4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama,
  5. Karena wakaf atau warisan,
  6. Untuk digunakan kepentingan ibadah.
G.  Jenis-Jenis Hak atas Tanah
Diatur dalam UU Pokok Agraria (UU No. 5 / 1960):
  1. Hak milik, yaitu hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah,
  2. Hak guna usaha , yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku,
  3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria,
  4. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain sesuai dengan perjanjian, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Diatur dalam UU Rumah Susun (UU No. 16 / 1985):
  1. Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat bagian bersama benda bersama, tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan  yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan,
Diatur dalam PP No. 8 Tahun 1953:
  1. Hak pengelolaan yaitu hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
H.   TARIF DASAR PENGENAAN DAN CARA MENGHITUNG BPHTB
A. T A R I F
Sesuai pasal 5 UU BPHTB, tarif BPHTB merupakan tarif tunggal sebesar 5 %. Penentuan tarif tunggal ini dimaksudkan untuk kesederhanaan dan kemudahan perhitungan.
Tarif BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 5 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 88 disebutkan bahwa tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Cara Penghitungan BPHTB
Perhitungan BPHTB berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Pasal 8 adalah sebagai berikut:
Description: Description: tatif bphtb
Sedangkan perhitungan BPHTB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 89 adalah sebagai berikut:
Description: Description: tarif bphtb baru

Contoh :
1. Pada tanggal 1 Pebruari 2003, Bapak Sumarno membeli sebidang tanah yang terletak di Kabupaten Tangerang dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) sebesar Rp50.000.000,- Apabila NPOPTKP ditetapkan untuk Kabupaten Tangerang sebesar Rp60.000.000,- maka BPHTB yang menjadi kewajiban Bapak Sumarno tsb adalah :
5% x (50.000.000 - 60.000.000) = Nihil
atau dengan kata lain Bapak Sumarno tidak terutang BPHTB.

2. Pada tanggal 1 Maret 2003 , Bapak Ali membeli sebuah rumah seluas 200 M2 yang berada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M2 di Kota Bogor dengan harga perolehan sebesar Rp500.000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas objek tersebut ternyata NJOPnya sebesar Rp.600.000.000,- (tanah dan bangunan). Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp50.000.000,- maka kewajiban BPHTB yang harus dipenuhi oleh Bapak Ali tersebut adalah :
5% x (600.000.000 - 50.000.000) = Rp27.500.000,-

























B. DASAR PENGENAAN
Yang menjadi dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak atau disingkat NPOP sesuai ketentuan pasal 6 UU BPHTB.

Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).
Description: Description: dpp bphtb
Jika NPOP sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan 9 tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan maka DPP yang dipakai adalah NJOP.

Berdasarkan jenis perolehan haknya, NPOP tersebut adalah sebagai berikut :
1. Jual Beli = Harga Transaksi
2. Tukar Menukar = Nilai Pasar
3. Hibah = Nilai Pasar
4. Hibah Wasiat = Nilai Pasar
5. Waris = Nilai Pasar
6. Pemasukan dalam Perseroan / Badan Hukum lainnya = Nilai Pasar
7. Pemisahan Hak = Nilai Pasar
8. Peralihan Hak karena Putusan Hakim = Nilai Pasar
9. Pemberian Hak Baru = Nilai Pasar
10. Penggabungan Usaha = Nilai Pasar
11. Peleburan Usaha = Nilai Pasar
12. Pemekaran Usaha = Nilai Pasar
13. Hadiah = Nilai Pasar
14. Lelang = yang tercantum dalam Risalah Lelang

Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (3) UU BPHTB, bila NPOP tidak diketahui atau NPOP lebih rendah dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB dan apabila NJOP PBB belum ditetapkan maka sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (4) besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Selanjutnya didalam pasal 7 UU BPHTB, pemerintah menentukan suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Ketentuan pasal 7 ini dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 yang kemudian ditindaklanjuti lagi dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000. Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian mengalami perubahan dan yang terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 tanggal 22 Februari 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajaak Tidak Kena Pajak BPHTB. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 33/PMK.03/2008 ini berisikan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk perolehan hak karena waris , atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
b. untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkna sebesar Rp49.000.000,00 (empat puluh sembilan juta rupiah)
c. untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
d. untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
e. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d
f. dalam hal NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar daripada NPOPTKP yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka NPOPTKP untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sama dengan NPOPTKP sebagaimana ditetapkan pada huruf d Besarnya NPOPTKP ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP tersebut ditetapkan per daerah tingkat II (Kabupaten/Kota) dengan mempertimbangkan usulan dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

I.     Syarat Mengurus BPHTB 
Untuk jual beli, persyaratannya antara lain sebagai berikut:
  1. SSPD BPHTB
  2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
  3. Fotokopi KTP Wajib Pajak
  4. Fotokopi STTS/ Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
  5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)
Jika untuk hibah, waris atau jual beli waris sebagai berikut:
  1. SSPD BPHTB
  2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
    Fungsi : untuk mengecek kebenaran Data NJOP pada SSPD BPHTB.
  3. Fotokopi KTP Wajib Pajak
  4. Fotokopi STTS/Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
    Fungsi : untuk mempermudah melakukan penagihan, jika masih ada piutang PBB, karena Biasanya pembeli tidak mau ditagih pajaknya sebelum tahun dialihkan.
  5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)
    Fungsi : untuk mengecek ukuran luas tanah, luas bangunan, tempat/ lokasi tanah dan atau bangunan, dan diketahui status tanah yang akan dialihkan.
  6. Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah
    Fungsi : dibutuhkan untuk memberikan pengurangan pada setiap transaksi.
  7. Fotokopi Kartu Keluarga















J.   Saat terutangnya BPHTB
Menurut ketentuan pasal 9 ayat (1) UU BPHTB No. 20 Tahun 2000 menyatakan bahwa saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah sebagai berikut
Description: Description: saat bphtb
Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan kata lain saat terutang pajak BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib membayar pajak.

·        Tempat Terutangnya BPHTB
Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.

·        Pembayaran BPHTB
Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau Tempat Pembayaran lain  yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran  Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (SSB).
·        Ketetapan BPHTB
Direktorat Jenderal Pajak (menurut UU No. 20 Tahun 2000) atau Kepala Daerah (menurut UU No. 28 Tahun 2009) dalam jangka waktu 5 tahun sesudah terutangnya BPHTB setelah terlebih dahulu melakukan pemeriksaan lapangan ataupun kantor dan dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea (SKB) atau Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD):
  1. Lebih bayar (LB), apabila pajak yang dibayar ternyata lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang,
  2. Nihil (N), apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak terutang,
  3. Kurang bayar (KB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang bayar.
  4. Kurang bayar tambahan (KBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap (novum) yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang kecuali WP melapor sebelum pemeriksaan.
Terhadap jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam SKBKB tersebut dikenakan sanksi administrasi sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan (sehingga maksimal 48%) terhitung sejak tanggal terutangnya pajak. Sedangkan terhadap kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut, namun demikian jika WP melaporkan sendiri sebelum dilakukan pemeriksaan maka kenaikan tersebut tidak dikenakan. Jangka waktu pelunasan SKB tersebut adalah 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya surat ketetapan.
·        Surat Tagihan BPHTB (STB)
Menurut UU No. 20 Tahun 2000 Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan STB apabila;
  1. Pajak yang terutang tidak atau kurang bayar,
  2. Dari hasil pemeriksaan kantor surat setoran BPHTB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung,
  3. Wajib pajak dikenakan sanksi berupa denda dan atau bunga,
  4. Sanksi administrasi dikenakan bunga sebesar 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan sejak terutangnya pajak.
Sanksi  administrasi berupa bunga 2% sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dapat dikenakan apabila hasil pemeriksaan menyatakan kurang bayar, sanksi ini dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB).
·        Hak WP untuk Keberatan BPHTB
Dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SKP yang dapat dibuktikan dengan cap pos, Wajib pajak dapat mengajukan keberatan terhadap:
  1. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar (SKBKB),
  2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT),
  3. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Lebih Bayar (SKBLB),
  4. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah & Bangunan Nihil (SKBN).
Syarat pengajuan keberatan;
  1. Diajukan secara tertulis dalam bahas Indonesia,
  2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasan yang jelas dengan mengemukakan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar,
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. DJP harus memberi keputusan atas keberatan apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak tanggal surat ketetapan diterima.
·        Hak WP untuk Banding BPHTB
Apabila permohonan keberatan ditolak, WP masih dapat mengajukan upaya Banding ke Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya SK Keberatan yang dapat dibuktikan dengan cap pos. Pengadilan Pajak harus memberi keputusan atas banding apakah diterima, ditolak atau bahkan menambah besarnya pajak terutang dalam jangka waktu paling lama 12 bulan.
Apabila pengajuan keberatan atau  permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka kelebihan pembayaran pajak akan dikembalikan  dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak  sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan  atau  Putusan Banding tersebut.
·        Hak WP untuk Pengurangan
Selain hak WP untuk mengajukan keberatan terhadap SKP, WP juga dapat mengajukan pengurangan dalam hal:
  1. Kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan wajib pajak, yaitu:
  2. Wajib pajak orang pribadi yang mempunyai hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis,
  3. Wajib pajak badan yang memperoleh hak baru selain hak pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun yang dibuktikan dengan pernyataan wajib pajak dan keterangan dari pejabat pemerintah daerah setempat,
  4. Wajib pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah,
  5. Wajib pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS yang diperoleh lansung dari pengembang.
  6. Kondisi  wajib pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, yaitu:
  7. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti rugi dibawah nilai jual objek pajak,
  8. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus,
  9. Wajib pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga wajib pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah,
  10. Wajib pajak bank mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari bank bumi daya, bank dagang negara, bank pembangunan Indonesia, bank ekspor impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha,
  11. Wajib pajak penggabungan usaha atau peleburan usaha dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh persetujuan nilai buku dalam rangka penggabungan usaha dari DJP,
  12. Wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran banjir dan tanah longsor paling lama 3 bulan setelah penandatanganan akta,
  13. Wajib pajak orang pribadi veteran, TNI dan pensiunan , janda/dudanya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah,
  14. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial dan pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan mislanya tanah dan atau bangunan yang digunakan antara lain untuk panti asuhan.
Pengurangan akan diproses dalam waktu paling lama 3 bulan (apabila proses dilakukan di KPP Pratama) dan 6 bulan (apabila proses dilakukan di Kantor Pusat Dirjen Pajak) sejak tanggal diterima permohonan pengurangan BPHTB. Bagi WP yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besarnya pengurangan sebelum melakukan pembayaran BPHTB. Contohnya untuk kasus waris dan hibah wasiat, dimana pembayaran menggunakan SSB setelah dikurangi dengan pengurangan dilakukan terlebih dahulu baru pengajukan permohonan pengurangan ke KPP Pratama.
Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “pengurangan dihitung sendiri” dan jumlah setoran BPHTB setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap mengajukan permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bila permohonan pengurangannya ditolak/dikabulkan namun dalam pembayaran BPHTB-nya masih kurang bayar maka terhadap WP tersebut akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan dari kekurangan bayar tersebut, maksimum 24 bulan. Terhadap BPHTB kurang bayar (SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali.
·        Pengembalian Kelebihan Pembayaran
Wajib pajak dapat mengajukan usul  permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada DJP, antara lain berupa:
  1. Pajak yang dibayar lebih besar daripada seharusnya terutang,
  2. Pajak yang dterutang yang dibayarkan oleh wajib pajak sebelum akta ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah atau bangunan tersebut batal.
Berdasarkan kondisi di atas maka pengembalian kelebihan pembayaran dapat diberikan karena:
  1. Pengajuan permohonan pengurangan yang dikabulkan baik sebagian ataupun seluruhnya,
  2. Pengajuan keberatan atau banding yang dikabulkan baik sebagian atau seluruhnya, maka jumlah pengembalian akan ditambahkan bunga 2%/bln maksimal 24 bulan,
  3. Pajak yang dibayar lebih besar dari yang seharusnya terutang atau sudah terlanjur bayar tetapi proses perolehan haknya dibatalkan, maka terlebih dahulu akan dilakukan dilakukan proses pemeriksaan (Pasal 22) jumlah pengembalian akan ditambahkan bunga 2%/bln maksimal 24 bulan apabila pengembalian telah lewat 2 bulan,
  4. Perubahan peraturan perundang-udangan.
Pengajuan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak tersebut diajukan oleh WP ke DirJen Pajak. Kemudian DirJen Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan sejak diterimanya permohonan harus memberikan keputusan. Terhadap pengembalian pajak tersebut WP dapat melakukan restitusi atau kompensasi.
·        Kewajiban Memiliki NPWP dalam proses BPHTB
Sebagai upaya untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kewajiban perpajakan maka salah satu upaya yang dilakukan oleh DJP adalah melalui transaksi jual beli properti. Untuk itu DJP perlu memonitor setiap pemenuhan kewajiban perpajakan WP yang akan dipantau melalui mekanisme pencantuman NPWP. Dasar hukum proses ini adalah Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-35/PJ/2008 tanggal 9 September 2008 tentang Kewajiban Pemilikan NPWP Dalam Rangka Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan.
Dalam hal ini berarti bahwa baik penjual maupun pembeli wajib memiliki NPWP kecuali:
  • —  Bagi pembeli, tidak wajib mencantumkan NPWP jika NJOP atau NPOP di bawah Rp60.000.000,-
  • —  Bagi penjual, tidak wajib mencantumkan NPWP jika PPh Final terutangnya di bawah Rp3.000.000,-.
  1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas  perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Prinsip dasar BPHTB adalah Self assessment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan menyetorkan pajak terutang dan melaporkannya ke KPP Pratama,
  2. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan,
  3. Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru,
  4. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP),
  5. Batas nilai perolehan tidak kena pajak disebut Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP),
  6. Tarif BPHTB menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Sedangkan menurut UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  7. Perbandingan penerapan BPHTB antara UU No.20 Tahun 2000 dengan UU No. 28 Tahun 2009:
Description: Description: beda bphtb
K.  Pengertian BPHTB Waris 
BPHTB waris adalah pengenaan pajak kepada para ahli waris, sehubungan dengan peralihan hak atas tanah dan bangunan dari pewaris kepada ahli warisnya. Sebagaimana perolehan hak berdasarkan jual beli, perolehan hak atas tanah dan bangunan karena warisan dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB. Prinsipnya adalah para ahli waris memperoleh hak atas tanah dan bangunan dan karena itu negara mengenakan pajak.
BPHTB karena warisan diatur dalam UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB karena perolehan hak karena warisan merupakan salah satu jenis perolehan hak yang dikenakan pajak.
Mengenai warisan dan siapa saja ahli waris dan bagian-bagiannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) atau Burgerlijk Wetboek (BW) atau Hukum Perdata Barat dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Khusus untuk yang beragama Islam juga merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam yang tidak dipositifkan atau tidak dijadikan hukum tertulis di Indonesia, namun berlaku untuk seluruh umat Islam di dunia.
Sebagai contoh, dalam pembahasan ini hanya menghitung BPHTB warisan untuk kasus yang sederhana yang paling sering terjadi, yaitu seorang meninggal memiliki ahli waris berupa istri dan anak-anak.
·        Penghitungan BPHTB Pewaris Pemilik Tunggal Hak Tanah dan Bangunan 
Kondisi ini terjadi apabila pemilik tanah dan bangunan hanya atas nama satu orang atau yang tertulis dalam sertifikat hanya nama pewaris saja. Dengan demikian, orang yang berhak menjadi ahli warisnya adalah istri dan anak-anaknya.
Berbeda dengan perhitungan BPHTB karena jual beli yang menghitung BPHTB berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) atau harga transaksi, perolehan BPHTB karena warisan dihitung berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dianggap sebagai NPOP.
Prinsip perhitungan sama dengan jual beli yaitu 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
NPOPTKP warisan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang besarnya berbeda untuk masing-masing daerah. Sebagai contoh, NPOPTKP untuk DKI Jakarta adalah Rp350.000.000,-. Sementara itu, untuk daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah Rp300.000.000,-
Besarnya NPOPTKP untuk daerah lain ditetapkan berdasarkan peraturan daerah masing-masing karena sekarang ini pemungutan BPHTB dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Untuk mencari informasinya bisa ke Kantor Pajak atau Kantor Pertanahan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

·        Contoh Perhitungan PBHTB Warisan
Seorang ayah meninggal memiliki sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan, kemudian akan dilakukan balik nama ke atas nama para ahli waris atau anak-anak dan istrinya. Karena proses balik nama tersebut para ahli waris diwajibkan membayar BPHTB.
Data-data tanah objek warisan sebagai berikut:
Luas 1.000m2
NJOP = Rp1.000.000,- per meter
NPOP = 1.000 x Rp1.000.000,- = Rp1.000.000.000,- sama dengan NJOP total
NJOPTKP waris adalah Rp350.000.000,- (DKI Jakarta)
Besarnya BPHTB adalah sebagai berikut:
BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
BPHTB = 5 % x (Rp1.000.000.000 – Rp350.000.000) = Rp32.500.000,-
Dalam prakteknya, penulisan di lembar BPHTB hanya dituliskan nama salah satu ahli waris saja dengan diikuti menulis CS (cum suis) yang berarti dan kawan-kawan, di belakang namanya.
BPHTB waris harus dibayar pada saat warisan terbuka atau pada saat terjadinya peralihan hak atas tanah yang dimaksud. Mengenai saat peralihan hak atas tanah ini, apabila Anda mengacu pada hukum waris, saat beralihnya hak atas tanah tersebut adalah pada saat Pewaris meninggal dunia. Oleh karena itu, perhitungan pajaknya menggunakan perhitungan pada tahun Pewaris tersebut meninggal dunia.
Namun demikian, karena tidak seluruh hak atas tanah tersebut langsung dibalik nama. Atau bisa juga karena masyarakat banyak yang tidak mengerti bahwa dalam setiap pewarisan diharuskan membayarkan BPHTB waris, biasanya pajak waris dibayarkan pada saat bersamaan dengan penjualan tanah dan bangunan tersebut kepada pihak lain. Selain itu juga bisa pada saat perpanjangan atau peningkatan status hak atas tanah dimaksud. Baru pada saat itulah ahli waris membayar BPHTB warisnya. Sebab, apabila BPHTB waris tersebut tidak dibayarkan terlebih dahulu, balik nama waris tidak bisa dilakukan.
Dana untuk membayar BPHTB dapat direncanakan oleh pewaris. Contohnya ketika seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris. Hal yang perlu diingat adalah setiap kali Anda membeli sebidang tanah dan bangunan, sebenarnya Anda berutang biaya BPHTB waris kepada ahli waris Anda. Oleh karena itu, Anda perlu memastikan bagaimana dana tersebut tersedia ketika ahli waris kita membutuhkannya. Dengan demikian, Anda perlu memasukkan biaya BPHTB atas seluruh tanah dan bangunan yang Anda miliki ke dalam perencanaan dana warisan yang ada.
·         BPHTB Waris Atas Tanah yang Sudah Berakhir Jangka Waktu Haknya
Perlu dicermati terutama bagi para praktisi di bidang pertanahan, bahwa perhitungan BPHTB waris atas tanah-tanah yang sudah berakhir jangka waktu haknya berbeda dengan perhitungan BPHTB waris dalam hal jangka waktu hak atas tanah tersebut masih berlaku.
Contohnya, seorang suami memiliki istri dan dua orang anak sebagai ahli waris berupa sebidang tanah yang berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Dalam sertifikat HGB tersebut, tertulis bahwa jangka waktu HGB berakhir tahun 2008. Karena mereka tidak mengerti mengenai jangka waktu hak atas tanah, mereka baru mengajukan permohonan perpanjangan hak atas tanah setelah jangka waktu hak tersebut lewat 2 tahun, yaitu pada tahun 2010. Pada saat melakukan perpanjangan HGB-nya, ahli waris yang semula hanya diwajibkan untuk membayar BPHTB waris dengan perhitungan sebagaimana tersebut di atas {(NJOP – NJOPTKP)  x  5%} x 50%
Akan tetapi seharusnya menggunakan rumus BHPTB sebagaimana hal nya jual beli biasa, yaitu {(NJOP – Rp60jt) x 5%
Jadi, pada dasarnya Anda harus kembali kepada konsep hukum tanah mengenai hak atas tanah: Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha ataupun Hak Pakai yang memiliki jangka waktu tertentu pada dasarnya merupakan tanah negara yang diberikan kepada seseorang dengan suatu jangka waktu terbatas. Oleh karena itu, apabila jangka waktu hak atas tanah tersebut habis (telah lewat), sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40/19996  maka proses yang diajukan oleh para ahli waris bukanlah perpanjangan hak, melainkan permohonan hak atas tanah yang baru. Walaupun tentu saja ahli waris tersebut memiliki hak preference (hak istimewa yang didahulukan) untuk mengajukan permohonan hak atas tanah dimaksud dibandingkan dengan pihak yang bukan ahli waris. Oleh karena itu, perhitungan pajak yang dikenakan tidak menggunakan rumus perhitungan BPHTB waris. Mengenai perhitungan pajak tersebut juga ditegaskan dalam Surat Direktur Jendral Pajak No. S-458/PJ.331/2005 tanggal 1 Juni 2005 tentang Penegasan Saat Terutangnya BPHTB, khususnya poin 2 yang menyatakan bahwa:
Dalam hal jangka waktu perolehan hak guna bangunan telah berakhir, maka status tanah menjadi tanah milik Negara sampai dengan diberikannya hak baru lagi.
Oleh karena itu, perlakuan pajaknya tidak mengikuti ketentuan mengenai BPHTB waris, melainkan menggunakan rumus perhitungan BPHTB permohonan hak baru, yang perhitungannya sebagaimana halnya biasa seperti halnya jual beli. Dari penjelasan di atas, Anda dapat merencanakan BPHTP tanah warisan untuk persiapan di masa yang akan datang.
Karakteristik
  • Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun objek pajak.
  • Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang.
  • Waktu pembayaran dapat dilakukan secara insidentil dan tidak terikat waktu.Subjek bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Pihak yang terkena kewajiban melunasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah orang pribadi dan badan hukum. Selain itu terdapat pihak yang dikecualikan dari kewajiban melunasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, yaitu:
  1. Perwakilan diplomatik dan konsulat dengan asas timbal balik
  2. Negara untuk melaksanakan kepentingan umum
  3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri untuk menjalankan fungsinya
  4. Orang pribadi atau badan, karena konversi hak atas tanah dan bangunan dengan tidak ada perubahan nama
  5. Orang pribadi atau badan yang diperoleh dari wakaf
  6. Orang pribadi atau badan yang diperuntukan untuk kepentingan ibadah.
Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) terdapat beberapa objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB yaitu :
1.    Objek yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasar azas perlakuan timbal balik;
2.    Objek yang diperoleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
3.    Objek yang diperoleh Badan/Perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha/kegiatan lain diluar fungsi dan tugasnya;
4.    Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena KONVERSI HAK atau karena perbuatan Hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
5.    Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena WAKAF;
6.    Objek yang diperoleh orang pribadi/Badan karena kepentingan IBADAH.

PENGENAAN BPHTB KARENA WARIS, HIBAH WASIAT DAN PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN
A. PENGENAAN BPHTB KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT
Sesuai dengan bunyi pasal 3 ayat (2) UU BPHTB pengenaan BPHTB karena waris dan hibah wasiat diatur dengan peraturan pemerintah. Untuk itu telah terbit Peraturan Pemerintah No: 111/2000, tanggal 1 Desember 2000 yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. BPHTB terutang karena waris dan hibah wasiat sebesar : 50 % dari yang seharusnya terutang.
2. Saat terutang pajak adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
3. Dasar pengenaan (NPOP) adalah nilai pasar pada saat pendaftaran hak.
4. Apabila NPOP lebih kecil dari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB
5. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOTKP) terdiri dari 2 jenis :
a. Maksimum Rp300 juta terhadap waris dan juga terhadap hibah wasiat yang diterima oleh orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas dan satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat termasuk suami/istri.
b. Maksimum Rp60 juta terhadap penerima hibah wasiat selain dari yang diatas.

Contoh :
1. Seorang anak menerima warisan dari orang tuanya sebidang tanah dan bangunan dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp250 juta. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah dikenakan PBB dengan NJOP sebesar Rp325 juta. Apabila NPOPTKP karena waris untuk daerah tersebut ditentukan sebesar Rp250 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp325 juta – Rp250 juta) = Rp1.875.000,-
2. Seorang cucu menerima hibah wasiat dari kakeknya sebidang tanah seluas 300 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp300 juta. Terhadap tanah tersebut telah diterbitkan SPPT PBB pada tahun pendaftaran hak dengan NJOP sebesar Rp250 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp.50 juta maka BPHTB yang terutang adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp300 juta – Rp50 juta ) = Rp6.250.000,-

3. Sebuah Yayasan Yatim Piatu “ Al-Jannah” menerima hibah wasiat dari seorang dermawan sebidang tanah seluas 1.000 M2 dengan nilai pasar pada waktu pendaftaran hak sebesar Rp800 juta. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditentukan sebesar Rp60 juta maka BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Yayasan tersebut adalah sebesar :
50% x 5% x ( Rp800 juta – Rp60 juta) = Rp18.500.000,-

B. PENGENAAN BPHTB KARENA PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN
Sesuai dengan pasal 3 ayat (2) UU BPHTB, pengenaan BPHTB karena pemberian hak pengelolaan diatur dengan peraturan pemerintah. Untuk itu telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No: 112 Tahun 2000 tanggal 1 Desember 2000 yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara atas tanah yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah, menggunakan tanah untuk keperluan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga.
2. Besarnya BPHTB karena Hak Pengelolaan adalah :
a.    0% dari BPHTB yang seharusnya terutang bila penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota,. Lembaga Pemerintah Lain dan Perum Perumnas;
b.    50% dari BPHTB yang seharusnya terutang untuk selain yang diatas;
c.    Saat terutang Pajak yaitu sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan;
d.    Dasar pengenaan ( NPOP) adalah Nilai Pasar;
e.    Apabila Nilai Pasar lebih kecil dari NJOP PBB maka yang dipakai adalah NJOPPBB.

Contoh :
1. Perum Perumnas menerima Hak Pengelolaan dari Pemerintah sebidang tanah seluas seluas 5 Ha dengan nilai pasar pada waktu penerbitan hak sebesar Rp3 milyar. Apabila NPOPTKP pada daerah tersebut ditetapkan sebesar Rp60 juta maka besarnya BPHTB yang harus diabayar oleh Perum Perumnas tersebut adalah :
0% x 5% x (Rp3 milyar – Rp60 juta) = 0 ( nihil ).
3.    Sebuah perusahaan negara milik daerah ( BUMD Perpakiran ) menerima hak pengelolaan dari pemerintah sebidang tanah dan sebuah gedung untuk parkir dengan nilai pasar pada waktu penerbitan hak sebesar Rp1 milyar. Terhadap tanah dan bangunan tersebut telah diterbitkan SPPT PBB dengan NJOP sebesar Rp1,25 milyar. Apabila NPOPTKP atas daerah tersebut ditetapkan sebesar Rp50 juta maka besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh BUMD Perpakiran tersebut adalah sebesar :
50% x 5% x (Rp1,25 milyar – Rp50 juta) = Rp30 juta


L.    SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG SERTA TATA CARA PEMBAYARAN

A. SAAT TERUTANG PAJAK

Ketentuan pasal 9 ayat (1) UU BPHTB memuat tentang saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai berikut :
1. Jual Beli : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
2. Tukar Menukar : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
3. Hibah : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
4. Waris : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan
5. Pemasukan dalam Perseroan : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
6. Pemisahan Hak : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
7. Lelang : Sejak tanggal penunjukan pemenang Lelang
8. Putusan Hakim : Sejak tanggal putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
9. Hibah Wasiat : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan Haknya ke Kantor Pertanahan
10. Pemberian Hak Baru : Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak
11. Penggabungan Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
12. Peleburan Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
13. Pemekaran Usaha : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
14. Hadiah : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta
Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan kata lain saat terutang pajak BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib membayar pajak.



B. TEMPAT PAJAK TERUTANG :
Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan
C. TATA CARA PEMBAYARAN
Ketentuan tata cara pembayaran BPHTB tercantum dalam pasal 10 UU BPHTB yang dijabarkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 517/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 yang kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 269/PJ/2001 tanggal 2 April 2001 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 tanggal 6 April 2001 yang intinya adalah sebagai berikut :
a.    Pembayaran tidak mendasarkan kepada adanya Surat Ketetapan Pajak.
b.    Dibayar dengan menggunakan Surat Setoran Bea ( SSB ) ke Kas Negara melalui Bank/Kantor Pos atau Tempat Pembayaran lain yg ditunjuk.
c.    SSB juga berfungsi sebagai SPOP dan sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
Kewajiban Bayar pada saat :
1. Dibuat & ditandatanganinya Akta
2. Pendaftaran Hak untuk Waris & Hibah Wasiat
3. Ditunjuknya pemenang Lelang
4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian Hak Baru
5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap


M. TATA CARA PENETAPAN DAN PENAGIHAN

A. TATA CARA PENETAPAN
Tata cara penetapan BPHTB diatur didalam pasal 11 dan 12 sebagai berikut :
1. Dalam jangka waktu 5 tahun sejak pajak terutang, berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat kurang bayar, Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKBKB) ditambah denda 2% per bulan maksimum untuk jangka waktu 24 bulan (48%).
2. Setelah terbit SKBKB, terdapat data baru lagi sehingga Pajak terutang bertambah, maka Kepala Kantor Pelayanan PBB/KPP Pratama menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) ditambah sanksi administrasi sebesar 100% dari jumlah kenaikan, kecuali wajib pajak melapor sebelum ada pemeriksaan
Contoh :
Bapak Krosbin Simatupang membeli sebidang tanah di Surabaya pada tanggal 5 Januari 2003 dengan harga perolehan menurut PPAT sebesar Rp.300.000.000,- dan BPHTBnya telah dibayar lunas pada tanggal tersebut. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu pada tanggal 7 Pebruari 2003, ternyata NJOP PBB atas tanah tersebut adalah sebesar Rp.350.000.000,-
Pada tanggal 1 Maret 2003 diperoleh data baru (novum), ternyata transaksi yang benar atas tanah tersebut adalah sebesar Rp400.000.000,- Atas temuan-temuan tersebut diatas Kepala Kantor Pelayanan PBB Surabaya Satu telah menerbitkan SKBKB pada tanggal 7 Pebruari 2003 dan SKBKBT pada tanggal 1 Maret 2003. Berapa BPHTB yang harus dibayar oleh Bapak Krosbin Simatupang tersebut berdasarkan SKBKB dan SKBKBT yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan PBB tersebut bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp50.000.000,- ?

Jawab :
1. BPHTB yang telah dibayar pada tanggal 5 Januari 2003 adalah :
    5% x (300.000.000 - 50.000.000)                                              = Rp12.500.000,-


2. BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 7 Pebruari 2003 :
    5% x (350.000.000 - 50.000.000)                                              = Rp15.000.000,-
    BPHTB yang telah dibayar                                                        = Rp12.500.000,-
    BPHTB kurang bayar                                                                  = Rp 2.500.000,-
    Denda : 2 x 2% x Rp2.500.000,-                                                = Rp 100.000,-
    SKBKB                                                                                          = Rp 2.600.000,-

3. BPHTB yang seharusnya terutang pada tanggal 1 Maret 2003 :
   5% x (400.000.000 - 50.000.000)                                               = Rp17.500.000,-
   BPHTB yang telah dibayar                                                         = Rp15.000.000,-
   BPHTB kurang bayar                                                                   = Rp 2.500.000,-
   Sanksi administrasi ( 100% )                                                      = Rp 2.500.000,-
   SKBKBT                                                                                         = Rp 5.000.000,-


B. TATA CARA PENAGIHAN
Sesuai dengan pasal 13, 14 dan 15 UU BPHTB maka apabila :
1. Pajak terutang tidak/kurang bayar
2. Dari pemeriksaan,
SSB kurang bayar
3. WP kena sanksi administrasi berupa denda/bunga

Maka Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Tagihan BPHTB (STB) ditambah sanksi bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.
Surat Tagihan BPHTB setara dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
SKBKB, SKBKBT, STB, SK Pembetulan / SK Pengurangan / SK Keberatan / SK Banding merupakan Dasar Penagihan Pajak.

Pajak terutang berdasar SURAT-SURAT tersebut diatas harus dilunasi paling lambat 1(satu) bulan sejak diterima oleh wajib pajak, lewat batas waktu dapat ditagih dengan SURAT PAKSA.


N. KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN

A. KEBERATAN
Keberatan diatur dalam pasal 16 dan 17 yang dapat dirinci sebagai berikut :
1.    Diajukan oleh wajib pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala        KPPBB/KPP Pratama atas : SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN ;
2.    Secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan dilampiri :
a.Copy
SSB ;
b.Asli SKBKB/SKBKBT/SKBLB/SKBN
c.Copy Akta/Risalah Lelang / SK Pemberian Hak / Putusan Hakim
d.Copy identitas
3.    Keberatan diajukan dalam waktu 3(tiga) bulan sejak diterimanya SK oleh wajib pajak
4.    Yang tidak memenuhi syarat tidak dianggap sebagai surat keberatan dan tidak dipertimbangkan
5.    Keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
6.    Keputusan dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterima permohonan dari wajib pajak, lewat waktu dianggap diterima
7.    Keputusan dapat berupa :
a. mengabulkan seluruhnya / sebagian
b. menolak, atau
c. menambah besar pajak terutang
8.    Wajib Pajak yang tidak setuju atas keputusan keberatan dari Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan banding ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak ( sekarang Pengadilan Pajak )


B. B A N D I N G
Banding diatur dalam pasal 18 dan 19 Undang-undang BPHTB yang dapat disarikan sebagai berikut :
- Diajukan ke BPSP ( Pengadilan Pajak ) dalam jangka waktu 3 bulan sejak terima SK Keputusan Keberatan
- Pengajuan banding tidak menunda kewajiban pembayaran pajak
- Bila Keberatan dan Banding dikabulkan, kelebihan pembayaran dapat imbalan bunga 2%/bulan maksimum 24 bulan yang dihitung sejak pelunasan pajak sampai dengan terbit Surat Ketetapan BPHTB Lebih Bayar

C. PENGURANGAN

Pengurangan diatur dalam pasal 20 Undang-undang BPHTB yang kemudian dijabarkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tanggal 25 Nopember 2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB. Keputusan Menteri Keuangan ini kemudian diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 91/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006 tentang Perubahan Kedua atas KMK No.561/KMK.04/2004 tentang Pemberian Pengurangan BPHTB, yang dapat dirinci sebagai berikut :
1. Dalam hal kondisi tertentu WP yang ada hubungannya dengan Objek Pajak :
a.    WP pribadi memperoleh hak baru melalui program Pemerintah di bidang Pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan ekonomis mendapat pengurangan sebesar 75%
b.    WP Badan memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 tahun mendapat pengurangan sebesar 50%
c.    WP pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan RS dan RSS langsung dari pengembang dan membayar secara angsuran mendapat pengurangan sebesar 25%
d.    WP pribadi menerima hibah dari keluarga sedarah satu derajad keatas dan kebawah mendapat pengurangan sebesar 50%
2.Kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu :
a. WP memperoleh hak dari hasil pembelian uang ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya dibawah NJOP mendapat pengurangan sebesar 50%.

b. WP memperoleh hak sebagai penggantian dari tanah yang dibebaskan pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus, mendapat pengurangan sebesar 50%

c. WP Badan terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga WP harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai kebijaksanaan pemerintah, mendapat pengurangan sebesar 75%

d. WP Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari BBD, BDN, Bapindo dan Bank Exim dalam rangka merger, mendapat pengurangan sebesar 100%

e. WP Badan melakukan Merger atau Konsolidasi dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan pengunaan Nilai Buku dlm rangka penggabungan atau peleburan usaha tersebut dari Dirjen Pajak, mendapat pengurangan sebesar 50%

f. WP memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi karena bencana alam dlsb yang terjadi dalam waktu 3 bulan setelah penandatanganan Akta, mendapat pengurangan sebesar 50%

g. WP pribadi (Veteran, PNS, TNI, Polri, pensiunan, purnawirawan, janda/dudanya) yang memproleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas pemerintah, mendapat pengurangan 75%

h. WP Badan Korpri yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaaan perumahan bagi anggota Korpri/PNS, mendapat pengurangan sebesar 100%

i. WP Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari peusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan KepMenKeu tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, mendapat pengurangan sebesar 50%.

j. WP yang domisilinya termasuk dalam wilayah program rehabilitasi dan rekonstruksi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan melalui program pemerintah di bidang pertanahan atau WP yang objek pajaknya terkena bencana lam gempa bumi dan gelombang tsunami di Propinsi NAD dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, mendapat pengurangan sebesar 100%.

k. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi di Propinsi DIY dan sebagian Propinsi Jawa Tengah yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.

l. WP yang objek pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir Pantai Selatan Pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terhutangnya terjadi 3(tiga) bulan sebelum terjadinya bencana, diberi pengurangan sebesar 100%.


3. Tanah dan bangunan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata tidak mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 50%


4. Tanah dan atau bangunan di Propinsi NAD yang selama masa reahbilitasi berlangsung digunakan untuk kepentingan sosial/pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan mendapat pengurangan sebesar 100%.
·         TATA CARA PERMOHONAN PENGURANGAN
1. Permohonan diajukan oleh WP kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama / Kakanwil DJP/Dir.Jen.Pajak dalam bahasa Indonesia dengan lampiran :
           a. Fotokopi Surat Setoran Bea ( SSB )
b. Fotokopi Akta / Risalah Lelang / Kep.Pemberian Hak Baru / Putusan Hakim
c. Fotokopi identitas
d. Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa
e. Fotokopi persetujuan Merger dari Dirjen Pajak
2. Permohonan dalam waktu 3(tiga) bulan sejak tanggal pembayaran
3. Khusus untuk MERGER, permohonan diajukan sebelum Akta ditandatangani oleh Notaris/PPAT
4. Atas permohonan kemudian dilakukan Pemeriksaan Sederhana dan dituangkan dalam Berita Acara
5. Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat permohonan dan tidak dipertimbangkan

·         KEPUTUSAN PENGURANGAN
1. Keputusan oleh Kepala KPPBB/KPP Pratama dalam waktu 3(tiga) bulan sejak terima permohonan dari Wajib Pajak, lebih dari 3 bulan dianggap diterima. Keputusan oleh Kakanwil DJP dalam waktu 4(empat) bulan sejak diterima pemohonan dari WP, lebih dari 4 bulan dianggap diterima, dan keputusan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 6(enam) bulan, lebih dari 6 bulan dianggap dikabulkan.
4.    Bentuk Keputusan : mengabulkan seluruhnya / sebagian atau menolak
3. Wewenang Keputusan :
a. Ketetapan sampai dengan 2,5 M oleh Kepala Kantor PBB/ KPP Pratama
b. Ketetapan diatas 2,5 M sampai dengan 5 M oleh KAKANWIL DJP
c. Lebih dari 5 M, dampak krisis, merger dan Bank Mandiri oleh Direktur Jenderal Pajak

 PENGURANGAN YANG DIHITUNG SENDIRI OLEH WP

Terhadap WP yang memenuhi syarat dapat menghitung sendiri besar pengurangan sebelum pembayaran BPHTB. Dalam Surat Setoran Bea diberi tanda “ pengurangan dihitung sendiri” dan jumlah setoran setelah pengurangan. Dalam hal ini WP tetap mengajukan permohonan pengurangan sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Bila permohonannya ditolak / dikabulkan namun BPHTB masih kurang bayar maka terhadap WP tersebut dikenakan sanksi bunga 2% per bulan dari kekurangan bayar tersebut , maksimum 24 bulan. Terhadap BPHTB kurang bayar (SKBKB) tidak dapat diajukan pengurangan kembali



P. RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA SERTA PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB

A. RESTITUSI DAN IMBALAN BUNGA

Restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB diatur dalam pasal 21 dan pasal 22 yang dapat dirinci sebagai berikut :

1. Sebab-sebab Restitusi :
a. Pajak dibayar > pajak terutang yang disebabkan oleh :
- Permohonan pengurangan dikabulkan
- Permohonan keberatan dikabulkan
- Permohonan banding dikabulkan
- Perobahan peraturan
b. Pajak dibayar tidak seharusnya terutang

2.Tata Cara Pengajuan Restitusi dan Imbalan Bunga
a. Permohonan restitusi diajukan oleh WP dalam bahasa Indonesia dengan alasan dan dilampiri :
1) Asli Surat
Setoran Bea ( SSB )
2) Fotokopi SK Keberatan / Banding / Pengurangan
3) Fotokopi Akta / Risalah Lelang / Keputusan Hak Baru / Putusan Hakim
4) Fotokopi identitas Wajib Pajak

b. Yang tidak memenuhi persyaratan tidak dianggap sebagai surat permohonan dan tidak dipertimbangkan
c. Berdasarkan pemeriksaan atas permohonan, KPPBB/KPP Pratama menerbitkan :
1) SKBLB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP ternyata lebih besar dari jumlah pajak yang terutang.
2) SKBN apabila jumlah pajak yang dibayar oleh WP sama besarnya dengan jumlah pajak yang terutang
3) SKBKB apabila jumlah pajak yang telah dibayar oleh WP lebih kecil dari jumlah pajak terutang
d. Keputusan dalam waktu 12 bulan sejak terima permohonan apabila waktu 12 bulan tersebut terlampaui, maka permohonan tersebut dianggap diterima dan paling lambat 1 bulan setelah 12 bulan harus terbit SKBLB dan apabila penerbitan SKBLB lewat waktu maka WP mendapat bunga 2% per bulan dihitung sejak lewat waktu sampai dengan terbit SKBLB.
e. Berdasarkan SKBLB harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB (SKPKPB) yang dikirim ke : WP, BO, KPKN dan Kanwil DJP.
f. Dalam waktu 2 bulan setelah SKBLB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran BPHTB ( SPMKPB ), lewat dari waktu yang ditentukan tersebut WP dapat bunga 2% per bulan.
g. Atas imbalan bunga diterbitkan Surat Ketetapan Imbalan Bunga ( SKIB ) dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga ( SPMIB )

B. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN BPHTB
Pembagian hasil penerimaan BPHTB diatur dalam pasal 23 Undang-undang BPHTB dan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan No:519/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 sebagai berikut :
1. Pemerintah Pusat mendapat bagian sebesar 20% dari seluruh penerimaan BPHTB yang kemudian bagian Pemerintah Pusat ini dibagikan secara merata keseluruh daerah Kabupaten/Kota dan dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu bulan April, bulan Agustus, dan bulan Nopember tahun anggaran berjalan.
2. Pemerintah Daerah mendapat bagian sebesar 80% yang dibagi sebagai berikut :
a.16% untuk Daerah Propinsi
b.64% untuk Daerah Kabupaten/Kota
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 04/PMK.07/2008 tanggal 28 Januari 2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah, atas transfer Dana Bagi Hasil BPHTB untuk daerah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran melimpahkan sebagian kewenangan perintah pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah kepada Kuasa Bendahara Umum Negara. Pelimpahan kewenangan ini dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah Menerbitkan Surat Kuasa Umum (SPMSKU). Berdasarkan SPMSKU ini maka Kuasa Bendahara Umum Negara menerbitkan Surat Kuasa Umum (SKU) kepada Bank Operasional III untuk melakukan pemindahbukuan Dana Bagi Hasil BPHTB dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Penyaluran Dana Bagi Hasil BPHTB ini berdasarkan realisasi penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan secara mingguan.

Dalam rangka penyaluran transfer ke daerah, setiap tahun anggaran selambat-lambatnya pada minggu pertama bulan Desember sebelum tahun anggaran dimulai, pemerintah daerah wajib menyampaikan nomor rekening, nama rekening dan nama bank kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan yang dilampiri dengan: 1)asli rekening koran dari Rekening Kas Umum Daerah; dan 2)fotokopi keputusan kepala daerah mengenai penunjukan/penetapan pejabat Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah yang disahkan oleh kepala daerah.
Q. KEWAJIBAN, PELAPORAN DAN SANKSI

A. KEWAJIBAN PEJABAT
Ketentuan bagi pejabat diatur dalam pasal 24 Undang-undang BPHTB yang mengatur tentang kewajiban bagi pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan BPHTB yaitu :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT) / Notaris hanya dapat menandatangani Akta pada saat WP menyerahkan Surat Setoran BPHTB (SSB) dengan menyerahkan fotokopi dan menunjukkan aslinya.
2. Pejabat Lelang hanya dapat menanda tangani Risalah Lelang pada saat WP menyerahkan
SSB.
3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan Surat Keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan SK dimaksud pada saat WP menyerahkan
SSB.
4. Pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris/hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat WP menyerahkan
SSB.

B. PELAPORAN
Masalah pelaporan pelaksanaan BPHTB diatur dalam pasal 25 Undang-undang BPHTB yang mengatur hal-hal sebagai berikut :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) /Notaris, Kepala Kantor Lelang wajib menyampaikan laporan tentang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan disertai salinan SSB kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama
2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota memberitahukan perolehan hak atas tanah karena pemberian hak baru kepada Kepala KPPBB/KPP Pratama disertai salinan
SSB.
3. Laporan/Pemberitahuan disampaikan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya, bila libur hari kerja berikutnya.

C. S A N K S I
Sanksi yang dikenakan kepada para pejabat terkait diatur dalam pasal 26 Undang-undang BPHTB sebagai berikut :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) / Notaris / Kepala Kantor Lelang yang melanggar ketentuan Kewajiban Bagi Pejabat, dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp.7.500.000,- setiap pelanggaran dan denda sebesar Rp.250.000,- untuk setiap laporan.
2. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan bagi pejabat dikenakan sanksi sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 (PP 30/80) tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Tarif Baru PPh Final 2.5% atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Tarif Baru PPh Final atas Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dimana PP ini akan berlaku 30 hari sejak tanggal 8 Agustus 2016. Dengan demikian PP No. 34 Tahun 2016 ini akan berlaku mulai tanggal 8 September 2016.
Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa penghasilan atas transaksi tanah/bangunan baik dengan Akta Jual Beli (AJB) atau akta pengalihan hak lainnya seperti Akta Pengoperan Hak ataupun peralihan hak yang masih dalam bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) akan diberlakukan tarif baru, sebagai berikut:
  1. Untuk obyek Non Rusun dan Rumah Sederhana Sehat (RSH), Rumah Sederhana Tapak (RST) oleh Developer, PPh Penjual adalah 2.5% dari nilai transaksi.
  2. Untuk obyek Rusun dan Rumah Sederhana Sehat (RSH), Rumah Sederhana Tapak (RST) oleh Developer besarnya PPh final adalah 1% dari nilai transaksi.
  3. Transaksi kepada pemerintah tarif PPh 0%
Tentu saja peraturan ini disambut positif oleh developer karena akan membuat harga jual properti menjadi lebih rendah, dengan demikian diharapkan semakin banyak masyarakat yang sanggup membeli rumah. Dan pada gilirannya membuat dagangan developer laris manis.
Apa hubungannya dengan harga jual properti? Kan yang dikenakan pajak adalah developer? Memang secara kewajiban PPh adalah kewajiban developer, tapi sebenarnya uangnya sudah diperhitungkan dalam harga jual properti. Untuk diketahui bahwa biaya-biaya yang timbul karena jual beli properti yang menjadi kewajiban developer semuanya sudah diperhitungkan dalam harga jual properti tersebut, seperti PPh final, biaya AJB dan Notaris dan biaya lainnya.
Ada juga developer yang memasukkan kewajiban pembeli ke dalam harga properti, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan biaya-biaya yang timbul karena pembelian dengan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Ini tergantung kreatifitas dan style developer saja dalam menerapkan marketing gimmick.
Jadi ujung-ujungnya semakin besar pajak yang harus ditanggung oleh developer maka semakin mahallah harga properti tersebut, berlaku sebaliknya jika pajaknya ringan maka harga jual properti bisa ditekan.
Contoh :
Jika harga rumah adalah 500 juta rupiah, maka PPh yang menjadi kewajiban developer adalah 5% dari 500 juta sama dengan 25 juta rupiah.
Dengan adanya PP No. 34 Tahun 2016 Tentang Tarif Baru PPh Final atas Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan  tentang PPh 2.5% ini maka kewajiban developer menjadi 12.5 juta rupiah saja. Dengan kondisi ini developer bisa menurunkan harga jual produknya sebesar 12.5 juta rupiah dengan catatan developer tetap pada target keuntungan yang sama.
Jadi harga jual yang awalnya 500 juta bisa diturunkan menjadi 487.5 juta rupiah saja. Efeknya, jika harga rumah turun maka besarnya uang muka pembelian rumah dengan KPR juga turun dan tentu saja cicilan perbulan juga turun.
Ya, pengaruh penurunan pajak PPh final ini akan terasa apabila pembelian rumah dengan KPR dan itu sudah cukup bagus karena saat ini pembelian properti oleh masyarakat masih lebih dominan dengan skema KPR dibanding bayar tunai atau tunai bertahap.
Pengaruhnya lumayanlah tetapi tidak terlalu besar. Hehehehe
BPHTB dalam Jual Beli
Untuk peralihan hak berupa jual beli, pajak dikenakan kepada kedua belah pihak baik kepada penjual ataupun pembeli. Kepada penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan pembeli dikenakan BPHTB yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Dalam bahasa sehari-hari, NPOP bisa juga diartikan sebagai nilai transaksi atau nilai kesepakatan harga antara penjual dan pembeli.
Dalam prakteknya, nilai NPOP ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai NPOP, seperti perkembangan yang luar biasa di suatu daerah dalam waktu singkat sehingga harga tanah meningkat dengan cepat. Daerah seperti ini nilai NPOP bisa jauh lebih besar dari NJOP.
Sebaliknya, ada daerah yang nilai NPOP-nya lebih rendah dari nilai NJOP seperti daerah yang direncanakan akan dijadikan tempat pembuangan sampah, daerah yang berdekatan dengan area pemakaman, lokasi yang berada di dekat saluran udara tegangan ekstra tinggi atau sutet, daerah dengan potensi konflik, atau sengketa di kemudian hari.
Jika nilai NPOP lebih besar dari NJOP, yang dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh dan BPHTB adalah NPOP. Akan tetapi, jika NPOP lebih kecil dari NJOP, yang dijadikan dasar untuk perhitungan PPh dan BPHTB adalah NJOP.
PPh atas peralihan tanah dan bangunan dihitung sebesar 5% dari NPOP atau NJOP. Sedangkan untuk perhitungan BPHTB, NPOP dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) kemudian dikali 5%.
Besarnya NPOPTKP ini berbeda tiap daerah, sebagai contoh untuk DKI Jakarta NPOPTKP adalah Rp80 juta, sedangkan untuk daerah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi adalah Rp60 juta. Untuk daerah lain di Indonesia, sebaiknya ditanyakan ke kantor pajak atau Pertanahan atau ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) setempat.
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
  1. Rp60.000.000,- untuk semua jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan
  2. Kecuali untuk hak karena Waris atau Hibah Wasiat sebesar Rp300.000.000,-
Catatan: Dengan catatan NPOPTKP diberikan sekali pada setiap wajib pajak dalam satu tahun.







Perhitungan Besaran BPHTB
Seseorang membeli sebuah rumah di Jakarta dengan luas tanah 200 m2 dan luas bangunan 100 m2. Berdasarkan NJOP, harga tanah Rp700.000 per m2 dan nilai bangunan Rp600.000 per m2. Berapa besaran BPHTB yang harus dikeluarkan oleh pembeli rumah tersebut?
* Harga Tanah: 200 m2 x Rp700.000                   =    Rp    140.000.000

* Harga Bangunan: 100 m2 x Rp600.000
           =    Rp      60.000.000

——————————– +

* Jumlah Harga Pembelian Rumah:            
        =    Rp    200.000.000

* Nilai Tidak Kena Pajak *)                        
=    Rp      60.000.000

——————————– –

* Nilai untuk penghitungan BPHTB              
       =    Rp    140.000.000

* BPHTB yang harus dibayar
5% : 5% x Rp140.000.000                    
                  =    Rp       7.000.000
*) untuk wilayah Jakarta Rp60.000.000, Bogor Rp40.000.000, Tangerang Rp30.000.000 dan sebagainya. Besaran ini dapat berubah sesuai peraturan pemerintah setempat.

Perhitungan BPHTB
Setelah menghitung pajak yang harus dibayarkan oleh penjual rumah (PPh), mari kita menghitung pajak yang harus dibayarkan oleh pembeli rumah (BPHTB). Sebelum mulai menghitung BPHTB, kita harus mengetahui terlebih dahulu Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak atau NPOPTKP rumah yang dibeli. Karena transaksi jual beli rumah di wilayah Bogor, maka NPOPTKP nya disesuaikan dengan nilai di wilayah Bogor, yaitu Rp40.0000.000. Setelah mengetahui NPOPTKP mari kita menghitung BPHTB nya. cara perhitungannya:
Harga Tanah: 300 m2 x Rp800.000                                             = Rp240.000.000
Harga Bangunan: 150 m2 x Rp700.000                                      = Rp105.000.000
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jumlah harga pembelian rumah                                                  = Rp345.000.000
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)  = Rp40.000.000
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nilai untuk perhitungan BPHTB                                                   = Rp 305.000.000
Jadi berapakah BPHTB yang harus dibayarkan oleh pembeli rumah?
BPHTB yang harus dibayarkan sebesar 5% x Rp305.000.000 = Rp15.250.000
Perhitungan BPHTB Terbaru sesuai PP Nomor 34 Tahun 2016 cetak langsung ke pdf atau langusng kirim via email Objek Pajak Yang menjadi objek PPh Final adalah atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari: pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya Berdasarkan aturan baru tersebut maka transaksi berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tanah dan/atau bangunan sudah terutang PPh Final walaupun belum dibuat Akte Jual Beli. Tarif Pajak Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan / atau bangunan diatur dalam pasal 2 PP Nomor 34 Tahun 2016 adalah: 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan berupa Rumah Sederhana atau Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan; 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan; atau 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bag, pembangunan untuk kepentingan umum.
Sebagai ilustrasi, PT Lamone menjual 1 (satu) unit apartemen seharga Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Tuan Arul membayar uang muka sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) pada tanggal 25 Februari 2017 dan sisanya diangsur selama 24 (dua puluh empat) bulan. Meskipun belum dilakukan penandatanganan akta jual beli antara PT Lamone dengan Tuan Arul, atas transaksi tersebut telah terutang Pajak Penghasilan yaitu pada saat diterimanya uang muka sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan saat diterimanya angsuran sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) setiap bulannya. Dengan menggunakan ilustrasi diatas, dalam hal PT Lamone mengenakan tambahan biaya sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sebagai kompensasi pembayaran melalui angsuran selain pokok angsuran setiap bulan yang sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) tersebut, maka dasar pengenaan Pajak Penghasilan setiap bulannya adalah sebesar Rp26.000.000,00 (dua puluh enam juta rupiah). Dengan menggunakan ilustrasi tersebut, maka PT Lamone wajib membayarkan Pajak Penghasilan yang terutang atas pembayaran uang muka, yaitu sebesar 2,5% dari Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) atau sebesar Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan Maret 2017. Dikecualikan dari Pengenaan Pajak Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 34 Tahun 2016 adalaj: orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badansosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan; pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris; badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku; orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan; atau orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan.


Arti dan Pengertian BPHTP & PPH Rumah / Tanah
Pengertian BPHTP (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) adalah biaya pajak yang dibebankan kepada pribadi atau badan yang mendapatkan perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum.
Rumus Cara Perhitungan Biaya, Tarif Bea Pajak
Rumus cara menghitung BPTHB yaitu :
5% x (NJOP – NPOPTKP)
  • NJOP = Nilai Jual Objek Pajak
  • NPOPTKP = Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Jika disebutkan sebelumnya bahwa untuk BPHTB dikenakan tarif 5%, maka UU BPHTB (terbaru) yang ditetapkan oleh Presiden Jokowi menurunkan angka tersebut menjadi maksimal 1%. Perhitungan BPHTB ini tentu akan menguntungkan dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Cara menghitung BPHTB yang baru ini tercantum di dalam Paket Kebijakan Ekonomi XI dan diumumkan pada 29 Maret 2016 lalu. Hasil penerimaan Pajak BPHTB ini sebesar 64% nya akan dikembalikan ke Kabupaten atau Kota, sedangkan 20% dari total biaya BPTHB  dan tarif BPHTB akan berbeda sesuai dengan objek pajaknya.






Tempat Pembayaran / Aplikasi BPHTB Online
Pembayaran BPHTB berbeda dengan PBB. Jika PBB dibayar pertahun, maka BPHTB dibayarkan saat pertama kali Anda memiliki objek BPHTB saja. Tempat pembayaran BPHTB pun hanya bisa dilakukan di Bank, Kantor Pos atau tempat lain yang ditunjuk sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor 09/PJ.6/2001 tanggal 6 April 2001.
Karena zaman semakin canggih dan masyarakat menginginkan layanan yang lebih praktis juga cepat, maka pemerintah kini telah meluncurkan aplikasi BPHTB online atau biasa disebut dengan e-BPHTB. Sistem ini terbukti ampuh dan lebih menghemat waktu. Cara ini juga memudahkan notaris dalam mencari informasi transaksi pembayaran BPHTB hingga beberapa tahun ke belakang. 

Contoh perhitungan pajak yang harus di bayarkan dalam proses balik nama atas tanah. NJOP ditetapkan yaitu 50juta/100m2. Luas tanah total 5000m2, NPOPTKP 300juta.
Perhitungan BPHTB Waris adalah sebagai berikut :
Luas Tanah = 5000 m2
NJOP PBB 50.000.000,-/100 = 500.000,-/m2NOPTKP = 300.000.000,-
RUMUS BPHTB = (((Luas tanah x NJOP PBB)-NOPTKP)x 2.5%))

Contoh Perhitungan BPHTB
Diperjual-belikan sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan dengan data-data sebagai berikut:
Luas = 1.000m2
NJOP = 1.000.000,-/meter
NJOPTKP adalah Rp80.000.000,- (DKI Jakarta)
Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp2.000.000,-/meter
Maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 1.000 x 2.000.000,- = Rp2.000.000.000,-

Besarnya PPh dan BPHTB adalah sebagai berikut:
PPh = 5 % x NPOP
Besarnya PPh = 5 % x Rp2.000.000.000,- = Rp100.000.000,-
BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
Besarnya BPHTB = 5 % x (Rp2.000.000.000 – Rp80.000.000) = Rp96.000.000,-


Contoh dan Cara Menghitung BPHTB pada Tanah Warisan
Sebagaimana perolehan hak berdasarkan jual beli, perolehan hak atas tanah dan bangunan karena warisanpun dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB. Prinsipnya adalah para ahli waris memperoleh hak atas tanah dan bangunan dan karena itu negara mengenakan pajak.
BPHTB karena warisan diatur dalam UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB karena perolehan hak karena warisan merupakan salah satu jenis perolehan hak yang dikenakan pajak. Jenis perolehan hak lain yang juga dikenakan BPHTB bisa dilihat disini.
Mengenai warisan dan siapa saja ahli waris dan bagian-bagiannya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) atau Burgerlijk Wetboek (BW) atau Hukum Perdata Barat dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Khusus untuk yang beragama Islam juga merujuk kepada  Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam yang tidak dipositifkan (tidak dijadikan hukum tertulis di Indonesia, berlaku untuk seluruh umat Islam di dunia).
Tetapi dalam pembahasan ini hanya menghitung BPHTB warisan untuk kasus yang sederhana yang paling sering terjadi, yaitu seorang meninggal memiliki ahli waris berupa istri dan anak-anak.
Penghitungan BPHTB karena pewaris pemilik tunggal hak atas tanah dan bangunan
Kondisi ini terjadi apabila pemilik tanah dan bangunan hanya atas nama satu orang atau yang tertulis dalam sertifikat hanya nama pewaris saja, maka yang berhak menjadi ahli warisnya adalah istri dan anak-anaknya.
Berbeda dengan perhitungan BPHTB karena jual beli yang menghitung BPHTB berdasarkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) atau harga transaksi, perolehan BPHTB karena warisan dihitung berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang dianggap sebagai NPOP.
Prinsip perhitungan sama dengan jual beli yaitu 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
Dimana NPOPTKP warisan adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang besarnya berbeda untuk masing-masing daerah. Sebagai contoh NPOPTKP untuk DKI Jakarta adalah Rp. 350.000.000,- dan untuk daerah Bogor, Depok, Tangeran dan Bekasi adalah Rp. 300.000.000,-
Besarnya NPOPTKP untuk daerah lain ditetapkan berdasarkan peraturan daerah masing-masing karena sekarang ini pemungutan BPHTB dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Untuk mencari informasinya bisa ke Kantor Pajak atau Kantor Pertanahan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Contoh perhitungan PBHTB karena warisan bisa dilihat sebagai berikut:
Seorang ayah meninggal memiliki sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan, kemudian akan dilakukan balik nama ke atas nama para ahli waris atau anak-anak dan istrinya. Karena proses balik nama tersebut para ahli waris diwajibkan membayar BPHTB.
Data-data tanah objek warisan sebagai berikut:
  • Luas 1.000 m2
  • NJOP = 1.000.000,- per meter
  • NPOP = 1.000 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 1.000.000.000,- sama dengan NJOP total
  • NJOPTKP waris adalah Rp. 350.000.000,- (DKI Jakarta)
Besarnya BPHTB adalah sebagai berikut:
  • BPHTB = 5 % x (NPOP – NPOPTKP)
  • BPHTB = 5 % x (Rp. 1.000.000.000 – Rp. 350.000.000) = Rp. 32.500.000,-
Dalam prakteknya penulisan di lembar BPHTB hanya dituliskan nama salah satu ahli waris saja dengan diikuti menulis CS (cum suis) yang berarti dan kawan-kawan, di belakang namanya.
Penghitungan BPHTB jika objek warisan merupakan milik bersama
Adakalanya karena situasi tertentu, tanah dan bangunan dimiliki oleh lebih dari satu orang. Penyebabnya bisa jadi karena pembelian dilakukan secara patungan beberapa orang untuk keperluan tertentu.
Sebagai contoh, beberapa orang sepakat untuk membeli tanah dan bangunan sehingga di dalam sertifikat tercantum beberapa orang.
Sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan dimiliki oleh beberapa orang, sehingga di sertifikat tercantum nama semua pemiliknya:
  1. Irwandy
  2. Riza Surya Dharma
  3. Fadli Aulia
  4. Eldwin Syarif
  5. Rajo Angek Garang
Dengan bagian masing-masing seperlima sama besar (atau berapapun bagian masing-masing, menurut kesepakatan)
Pada suatu hari Rajo Angek Garang meninggal dunia, sehingga haknya beralih ke ahli warisnya. Rajo Angek Garang meninggalkan para ahli waris:
  1. Maknyak Jumas (istri)
  2. Andi Arwick Garang (anak)
  3. Mariadi Putra Garang (anak)
Data-data tanah objek warisan sebagai berikut:
  • Luas 1.000 m2
  • NJOP = 1.000.000,- per meter
  • NPOP = 1.000 x Rp. 1.000.000,- = Rp. 1.000.000.000,- sama dengan NJOP total
  • NJOPTKP waris adalah Rp. 350.000.000,- (DKI Jakarta)
Besarnya BPHTB adalah sebagai berikut:
  • BPHTB = 5 % (1/5 NPOP – NPOPTKP)   1/5 NPOP karena yang menjadi hak pewaris hanya 1/5 bagian
  • BPHTB = 5 % (1/5 x Rp. 1.000.000.000 – RP. 350.000.000)
  • BPHTB = 5 % (Rp. 200.000.000 – Rp. 350.000.000)
  • BPHTB = 5 % (- Rp. 150.000.000)
  • BPHTB = Nihil

Jika diajukan balik nama atas sertifikat tersebut maka jumlah BPHTB yang harus dibayar adalah Nihil atau tidak ada. Apabila balik nama sudah selesai diajukan di Kantor Pertanahan maka dalam sertifikat akan muncul nama tujuh orang yaitu nama empat orang pemilik sebelumnya ditambah dengan ahli waris dari Rajo Angek Garang, selengkapnya pemilik tanah dan bangunan tersebut menjadi menjadi:
  1. Irwandy
  2. Riza Surya Dharma
  3. Fadli Aulia
  4. Eldwin Syarif
  5. Maknyak Jumas (istri)
  6. Andi Arwick Garang (anak)
  7. Mariadi Putra Garang (anak)
Dalam sertifikat ini juga bisa dicantumkan besarnya masing-masing bagian pemiliknya. Besarnya bagian masing-masing pemilik berdasarkan kesepakatan semua pemilik

Warga yang Baik Taat Bayar Pajak
Demikianlah serba-serbi pengertian dan cara menghitung BPHTB. Membayar bea merupakan kewajiban setiap masyarakat yang ingin memenuhi hak dan kewajiban untuk memiliki tempat tinggal. Untuk itu, sudah menjadi pengabdian untuk kita menaati dan menegakkan aturan demi kebaikan bersama.










DAFTAR PUSTAKA

0 komentar:

Posting Komentar